Prediksimafiabola.com - Mengapa evolusi dan psikologi muncul dalam pikiran ketika Liverpool dapat mengejutkan dunia ketika bertemu Barcelona. Sesuatu yang istimewa pasti terjadi dalam kurun waktu seminggu di Anfield. Setidaknya, saya tidak tahu apa itu, sesuatu yang membuat Jordan Henderson dan yang lainnya terlihat gila, menakutkan, pemberani dan seolah-olah mereka bukan yang pertama dari kekalahan kuat seminggu sebelumnya di Camp Nou.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat sederhana. Kuncinya justru terletak pada taktik dan tekad. Tanpa dua hal ini, tidak mungkin menaklukkan Barcelona. Itu juga tercermin dalam AS Roma musim lalu ketika dia mempermalukan Lionel Messi dan lainnya di Olimpico. Namun, bersua Barcelona tak selalu harus berurusan dengan taktik dan determinasi. Oke, Jurgen Klopp, sang arsitek permainan Liverpool, begitu jeli ketika lebih memilih memasukkan Georginio Wijnaldum ketimbang Daniel Sturridge atau pemain yang tengah menjadi buah bibir, Rhian Brewster.
Maklum, secara logika sederhana, Liverpool butuh meningkatkan level ofensif ketimbang menjaga keseimbangan. Meski berhasil unggul 1-0 pada babak pertama, bukan jaminan ketika sosok Wijnaldum masuk langsung membantu menggebrak. Tentu, resiko kebangkitan lini tengah Barcelona pada babak kedua sudah ada dalam perhitungan kepala Jurgen Klopp. Tapi itulah simbol dari sebuah taktik dan determinasi. Keberhasilan Jurgen Klopp sebagai sutradara pertandingan, membuat The Kop gembira. Sutradara?, yup, bagi saya orang Jerman satu itu mampu menepikan pesona Ernesto Valverde yang moncer sepekan sebelumnya. Begitu juga sosok Klopp yang begitu atraktif, langsung membuat publik lupa dengan gol indah tendangan bebas Lionel Messi di Camp Nou, seminggu sebelumnya.
Bagi saya, gambaran taktik dan determinasi di atas menjadi bukti saat hari-H. Namun yang pasti, saya masih penasaran dengan rajutan kalimat dan rangkaian pola latihan yang membuat Liverpool begitu tajam dan menjadi sebuah tim yang berevolusi sangat cepat. Evolusi cepat?. Ya, meski terminologi evolusi mengacu pada perubahan dalam jangka waktu lama, namun apa yang terjadi dengan Liverpool menjadi pengecualian, khususnya untuk saya pribadi. Bagaimana tidak, di tengah konsentrasi yang terbagi dengan keharusan bersaing dengan tim raksasa lain, Manchester City, di pentas liga domestik, mereka harus bersiap mendapat teror dari permainan indah Barcelona pada pertemuan pertama semifinal Liga Champions 2018-2019.
Liverpool dan AS Roma
Kondisi Liverpool sekarang jelas berbeda dengan apa yang terjadi pada AS Roma musim lalu. Saat itu, praktis konsentrasi Il Lupi berada di zona Liga Champions, karena harapan meraih scudetto di Liga Italai Serie A nyaris 'tak ada' karena dominasi Juventus dan Napoli. Alhasil, kompleksitas Liverpool dalam rentang seminggu sejak kepulangan dari Catalunya, menjadi sebuah pekerjaan rumah yang tak mudah bagi Jurgen Klopp dan para asistennya.
Apalagi, sebelum kedatangan Barcelona, tepatnya 72 jam sebelum laga, Jurgen Klopp bak terkena sambaran petir di siang bolong. Tanpa ada hujan dan angin, mendadak petir menerpa Klopp: Mohamed Salah dan Roberto Firmino dipastikan tak bisa merumput. Duuarrr...sontak, ketika kenyataan itu datang, Klopp dan jutaan pendukung Liverpool sudah pasti berharap-harap cemas. Bagaimana tidak, dua pemain agresor tersebut menjadi bagian penting dalam skema penyerangan. Bagaimana jadinya tridente Liverpool, yang biasanya berisi Sadio Mane, Mohamed Salah dan Roberti Firmino, bakal tampil tak lengkap?.
Kenyataan tersebut bukan hal ringan bagi Jurgen Klopp. Trio tersebut menjadi sumber gol utama bagi Liverpool sepanjang musim ini, meski sebenarnya sudah berjalan sejak periode lalu. Total dari sumbangsih mereka, Liverpool mendapatkan 66 gol di seluruh kompetisi, dengan masing-masing dari mereka mencetak 4 gol di pentas Liga Champions. Belum lagi dalam urusan kekompakan pergerakan. Mohamed Salah dan Roberto Firmino masuk dalam jajaran empat besar tukang pemberi umpan atau assist bagi Liverpool. Jadi, bisa dibayangkan betapa pincang performa Liverpool jika tak ada mereka.
Perubahan Ala Jurgen Klopp
Namun, ternyata semua itu hanya ada di dalam hitungan kertas putih belaka. Saat masuk ke area kertas hijau Anfield Gank, semuanya berubah. Jurgen Klopp sanggup memberi bukti transformasi yang mumpuni, dan sanggup membuat Liverpool berevolusi dengan cepat, berubah dari tim yang 'semenjana' di Camp Nou, menjadi sekelompok 'gengster' yang begitu kejam, meski tampil tak dominan. Penampakan Liverpoo di Anfield pada beberapa hari lalu, mengingatkan saya pada ahli psikologi perang, William James. Dalam essay yang berjudul 'The Moral Equivalent of War', William James menggambarkan bagaimana mengevolusi psikologi dalam rentang sekejap.
Essay tersebut menjadi bagian penting dari karya James yang tercipta pada tahun 1910. Meski terkesan jauh, namun prediksi metode yang dijabarkan James, bisa jadi menjadi dasar bagi Klopp untuk mengubah Liverpool dalam waktu sepekan. Yup, Liverpool sanggup bervolusi dengan waktu sepekan namun mematikan. Menukil dari satu di antara metode psikologi perang yang ditulis James, faktor terpenting dalam menghadapi kondisi pasca-kekalahan adalah 'kesenangan'. Kok bisa? "Ketika moral pasukan Anda tercabik-cabik dan cenderung akan labil, sementara Anda butuh pasukan Anda untuk bertemu lawan yang sama, faktor kesenangan itu yang paling penting dibanding terus melakukan evaluasi," tulis Will James. Kalo saya boleh menebak, teori ala Will James tersebut terealisasi di internal tim Liverpool. Tentu, faktor evaluasi tetap menjadi pedoman utama seorang Jurgen Klopp, yang sudah terbiasa bekerja secara sistematis selama tujuh tahun menangani Mainz 05, dan terus dibawa ke Borussia Dortmund.
Baca juga : Virgil Van Dijk Dicalonkan Dapat Penghargaan Ballon d’or 2019
Pelajaran Masa Lalu
Efek langkah Klopp tersebut sudah terbukti, meski belum berhasil di Liverpool, namun sinyal ke arah sana terbuka lebar. Kala menangani Mainz 05, ia menjawab tantangan manajemen untuk membawa tim semenjana tersebut promosi ke Bundesliga pada 2003-2004. Kisah lebih pakem lagi terjadi ketika Klopp bersama raksasa Bavaria, Borussia Dortmund, meraih dua gelar Bundesliga secara beruntun, plus sekali runner-up di pentas Liga Champions (2012-2013). Walhasil, tak perlu heran jika Klopp paham betul bagaimana mengaplikasikan sesuatu yang menurut saya nyaris sesuai dengan teori dalam esai William James.
Bagi Klopp, faktor psikologi menjadi yang terpenting. Maklum, ia pernah merasakan itu ketika gagal di final Liga Champions, enam tahun silam. Punya skuat yang dianggap lebih mentereng, toh ia harus bertekuk lutut via gol tunggal penyerang sayap Bayern Munchen, Arjen Robben. Satu yang layak mendapat atensi adalah keberhasilan Klopp memenangi masa-masa genting. Hal itu terjadi ketika Salah dan Firmino tak bisa bermain. Akhirnya, Klopp lebih mengedepankan kolektivitas, meski tak membuang begitu saja pengaruh individu. Hal individu ini pula yang berkaitan dengan psikologi pasukan saat bertempur di lapangan. Berbeda dengan Messi-sentris di kubu Barcelona, proses evolusi Liverpool berujung senjata mematikan ketika Jordan Henderson, James Milner dan Sadio Mane, berperan sesuai kapasitas mereka.
"Ketika ada satu, 2 atau 3 pasukan tampil bagus, efeknya akan merembet ke keberhasilan melaksanakan pola yang sudah direncanakan," tulis Will James dalam esai 'The Moral Equivalent of War'.Seperti sudah disinggung di atas, Jurgen Klopp hampir pasti melakukan evaluasi secara menyeluruh setelah kalah telak di Camp Nou. Namun, ia bisa membatasi itu hanya di kalangan internal tim kepelatihan, dan tak mengumbar kekesalan dan kekhawatiran ke tim secara keseluruhan.